Catatan ini berisi tentang kegelisan seorang ibu terhadap keadaan anak-anaknya...
Sekarang ini yang dipikirkan sama anak-anak kita bukan lagi cita-cita dan impiannya. Tapi ujian, ujian, dan ujian. Sempit sekali. Pendidikan akhlak, budi pekerti, kasih sayang, kesantunan, adat istiadat yang baik, dikesampingkan (Baca: tak dijadikan sistem, dan cenderung tidak diarahkan dan tidak dibentuk). Anak-anak lebih diarahkan dan ditujukan agar lulus dengan prestasi angka. Ujian sekolah dikhawatirkan, namun ujian hidup tidak dikhawatirkan.
Kemajuan teknologi yang seharusnya membuat banyak kemudahan, membawa masalah lantaran anak-anak kita tak siap sisi negatifnya. Pergaulan makin bebas, mata makin susah dijaga.
Anak-anak kita sungguh mengarungi hidup yang berat jika ia tidak diberi sampan yang tangguh kokoh, serta dayung yang kuat. Sampannya al Qur’an, dayungnya as Sunnah.
Jangan terjun-bebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat dhuhanya, dan tak menyempatkan anak-anak kita shalat dhuha! Hingga kemudian ia akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak cinta kepada rasul-Nya.
Jangan diterjunbebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat berjamaahnya ketika zuhur. Kelak kita akan mendapati susah sekali anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang bisa shalat berjamaah, di awal waktu, dan di masjid.
Wajah anak-anak yang bagaimana yang mau kita lihat? Wajah anak-anak yang lebih penting ujian nasional ketimbang ujian hidup? Yang memikirkan nilai berupa angka, tapi lupa nilai-nilai kehidupan? Hidupnya kering dari budi, dari rasa, dari kasih sayang? Tujuan hidupnya kecil, hanya masuk sekolah favorit, atau perguruan tinggi negeri? Setelah lulus, mikirin hanya nyari kerja, nyari gaji, tidak mencari Allah, yang Maha Memiliki Pekerjaan, Maha Memiliki Rizki?
Pernahkah berpikir, siapa yang akan mendoakan dan mengalirkan kebaikan setelah kita tiada? Jangan-jangan kita hanya dipusingkan polah anak sepanjang hidup kita: pusing akan kelakuannya, yang semua adalah kesalahan kita?
“Ibu tidak butuh anak yang pinter doang. Ibu lebih butuh anak yang bisa doain Ibu, yang sering nengokin Ibu, yang bisa inget Ibu di kala hidup maupun di kala mati. Ibu lebih tak butuh lagi anak yang pinter, tapi sombong sama Ibu, sombong sama saudara, apalagi sombong sama Allah. Dipanggil Ibu tak menyahut, dipanggil sama Allah juga ga’ nyahut.
Mau sekolah yang tinggi, silahkan. Tapi jangan lupa ngaji. Pentingin ngaji. Kalo mau sekolah tinggi, kerja tinggi, usaha tinggi, silakan. Tapi shalat nomor satu. Sama orang tua nomor satu. Sama Guru nomor satu. Buat apa tinggi hidup, tapi merendahkan urusan akhirat. Kejar akhirat, dunia ngikut. Tapi ‘gi dah, kejar dunia. Ntar dunia ga dapet, akhirat juga ilang. Ibu doain: Robanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wafil aakhiroti hasanah waqinaa ‘adzaabannaar.